Kompos Jerami

Kompos Jerami

Pengomposan dan Karakteristik Kompos

Pendahuluan

Kompos jerami memiliki peran strategis dalam menambah kadar bahan organik tanah sawah guna meningkatkan produktivitasnya secara berkelanjutan. Selain unsur hara K yang cukup tinggi dan unsur makro lainnya, kompos jerami menyimpan berbagai unsur hara mikro yang tidak terdapat dalam pupuk kimia sintesis biasa. Bukti bahwa kompos jerami meningkatkan produktivitas tanah sawah sudah banyak dilaporkan. Sekarang ini yang penting adalah bagaimana membuat kompos jerami yang baik yang sangat terkait dengan :

  1. Teknik pengomposan yang tepat, sesuai dengan kondisi agroekosistem wilayah (kering, basah, atau berair/rawa).
  2. Mikroba dekomposer yang digunakan.

Pengomposan di dalam lubang cocok diterapkan di daerah kering untuk mengurangi penguapan dan kehilangan unsur N. Pengomposan di atas permukaan tanah biasa dipraktekan di daerah basah (curah hujan tinggi). Sedangkan pengomposan di daerah selalu berair seperti rawa pasang surut perlu dipilih bagian tahan (mislanya galengan) yang cukup tinggi agar Kelembaban bahan tidak lebih dari 60%.

Uraian berikut adalah pengomposan jerami di dalam lubang yang dilakukan di areal persawahan tadah hujan, di Laboratorium Agribisnis Primatani Bojongkembar, Sukabumi, Jawa Barat.

Pengomposan vs Pembusukan

Serupa tapi tak sama

Pengomposan adalah proses perombakan (dekomposisi, transformasi) bahan organik tidak-stabil (C/N tinggi) menjadi stabil (C/N rendah) yang berlangsung secara terkendali, dicirikan oleh pelepasan panas & gas (CO2).

Pembusukan adalah proses perombakan yang tidak terkendali, berpotensi menghasilkan senyawa beracun (toksik) dan berkembangnya mikroba patogen).

Input dan output proses pengomposan bahan organik
Input dan output proses pengomposan bahan organik

Prosedur Pengomposan

 Pengomposan dilakukan di dalam lubang ukuran 1,5m x 1m x 1m (panjang x lebar x dalam). Berat jerami yang dikomposkan adalah 1 t/lubang. Untuk 1 ton jerami diperlukan sekitar 2 m3 jerami (BD jerami sekitar 500 kg m-3).

Jerami ditumpuk per lapisan dengan ketebalan 20 cm. Tiap lapisan dibasahi dengan seember air (± 10 l), kemudian diberi mikroba pengompos dengan cara ditabur atau dipercikkan merata diatas permukaan jerami. Setelah selesai, bagian jerami yang muncul di permukaan (40 cm) ditutup plastik warna gelap.

Ada tujuh sumber mikroba pengompos (dekomposer) yang dicoba, yaitu empat dekomposer komersial (M-Des, Orgadec, Probion, dan Em4), dua dekomposer lokal yang disebut MOL-pepaya), dan satu dekomposer berupa kotoran ternak sapi (pukan sapi). Masing-masing dekomposerdicobakan pada tiap lubang kompos. Dengan demikian ada tujuh lubang pengomposan untuk masing-masing dekomposer.

Takaran masing-masing dekomposer per 1 ton bahan jerami (per lubang) adalah M-Dec 1kg, Orgadec 5 kg, Probion 2,5 kg + urea 2,5 kg, EM4 1 l + gula pasir 0,25 kg, MOL-bambu 2 l, MOL-pepaya 2 l + gula pasir 0,25 kg, pukan sapi 100 kg.

lubang kompos
Foto lubang kompos & penutupan jerami yang muncul di permukaan dengan plastik warna gelap

Hasil Pengomposan

Proses pengomposan jerami pada semua lubang kompos berlangsung baik yang dicirikan oleh fase-fase progresif degradasi jerami. Fase termofilik (peningkatan suhu tinggi, > 40oC) yang merupakan fase penting dalam proses perombakan bahan organik terjadi berulang setelah pembalikan kompos yang selanjutnya diikuti masa stabilisasi (curing state). Panas yang dihasilkan selama fase termofilik mampu membunuh  mikroba patogen dan benih gulma (rumput pengganggu).

Sampai minggu keempat, tekstur kompos sudah lunak walau beberapa bagian masih agak kasar dengan warna coklat tua. Hampir semua bahan kompos jerami ditumbuhi hifa jamur berwarna putih sejak minggu pertama masa pembalikan kompos. Perbedaan sifat biofisik yang menonjol dicirikan oleh aroma kompos yang berganti-ganti dari aroma alkohol (fermentasi) sampai aroma amonia dan tengik. Aroma amonia atau tengik ini pada minggu kelima berkurang dan berganti dengan aroma alkohol.

Berdasarkan data perubahan sifat biofisik bahan kompos, tidak tampak adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan dengan menggunakan mikroba pengompos komersial mapun lokal dalam proses pembuatan kompos.

Grafik Perubahan Suhu Kompos
Grafik Perubahan Suhu Kompos

Beberapa dekomposer mampu menurunkan rasio C/N jerami dari 32:1 mnejadi ≤ 25:1 setelah 2 minggu masa pengomposan. Namun rasio C/N stabil untuk semua perlakuan dekomposer dicapai setelah minggu kesempat dan kelima masa pengomposan dengan rasio C/N 10:1-16:1.

Secara keseluruhan, dengan teknik pengomposan yang sama, perlakuan dengan berbagai jenis mikroba dekomposer menghasilkan karakteristik kompos yang tidak terlalu jauh beda. Keunggulan dekomposer komersial terletak pada kemurnian mikrobanya yang sudah tentu akan memberikan kualitas hasil yang sama (konsisten) pada setial kali pengomposan. Namun ketidakmurnian mikroba dekomposer lokal, termasuk penggunaan pukan sapi, tidak menjadikan kemampuannya lebih rendah dibanding mikroba dekomposer komersial asalkan prosedur dan prinsip-prinsip dasar pengomposan diikuti secara tertib.

karakterisitk kompos
Tabel karakteristik Kompos dari berbagai pengompos pada minggu kelima masa pengomposan

Komentar Petani & Biaya

Petani berpendapat bahwa proses pembuatan kompos jerami di dalam lubang secara umum tergolong mudah. Kualitas kompos yang dihasilkan dari berbagai mikroba dekomposer yang digunakan juga tergolong baik sampai sangat baik.

Biaya yang diperlukan untuk menghasilkan 1 ton kompos jerami (per lubang kompos) juga tergolong murah yakni Rp 182.000, - Rp 217.000,-. Biaya ini sudah termasuk biaya pembelian jerami dan upah tenaga kerja. Bila biaya ditiadakan (misalnya petani punya jerami dan dikerjakan sendiri) maka petani hanya mengeluarkan biaya pengadaan mikroba dekomposer saja yang bervariasi dari Rp 10.000,- - Rp 15.000,- bila menggunakan dekomposer lokal atau Rp 21.000,- - Rp 46,750,- bila menggunakan dekomposer komersial.

Pengomposan djerami di dalam lubang cocok diterapkan di daerah sulit air (curah hujan rendah) atau di daerah banyak tiupan angin untuk mengurangi penguapan dan kehilangan nitrogen.

Sumber Leaflet : Penyusun : Edi Husen L Irawan. Balai Penelitian Tanah. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian 2010